Bangun Tengah Malam

Keutamaan Munajat di Waktu Malam
Oleh: H. Dhabas Rakhmat


1. Menurut Al-Quran

Di antaranya ayat-ayat Al-Qur`an yang menganjurkan bangun di waktu malam dan beribadah yaitu:

Pahala mereka tidak terhalang.
Firman Allah s.w.t. artinya:

"Ahli-ahli Kitab itu tidaklah sama. Di antaranya ada golongan yang (telah memeluk Islam dan) tetap (berpegang kepada agama Allah yang benar) mereka membaca ayat-ayat Allah (Al-Quran) pada waktu malam, mereka bersujud (mengerjakan sembahyang).



Mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan menyuruh berbuat segala perkara yang baik, dan melarang daripada segala perkara yang salah (buruk dan keji), dan mereka pula segera pada mengerjakan berbagai-bagai kebajikan. Mereka (yang demikian sifatnya), adalah dari orang-orang yang salih.Dan apa saja kebajikan yang mereka kerjakan, maka sekali-kali mereka tidak dihalangi (menerima pahalanya) dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang bertaqwa (Ali Imran: 113 - 115)

Memperoleh kenikmatan di dalam syurga.
Firman Allah s.w.t. artinya:

"Katakanlah (wahai Muhammad): "Mahukah supaya aku khabarkan kepada kamu akan yang lebih baik daripada semuanya itu? Yaitu bagi orang-orang yang bertaqwa disediakan di sisi Tuhan mereka beberapa Syurga, yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Disediakan juga pasangan-pasangan isteri-isteri yang suci bersih, serta (beroleh pula) keridhaan dari Allah". Dan (ingatlah), Allah sentiasa Melihat akan hamba-hambaNya.(Iaitu) orang-orang yang berdoa dengan berkata: "Wahai Tuhan kami! Sesungguhnya kami telah beriman, oleh itu, ampunkanlah dosa-dosa kami dan peliharalah kami dari azab neraka"(Dan juga) orang-orang yang sabar (dalam menjunjung perintah Allah), dan orang-orang yang benar (perkataan dan hatinya), dan orang-orang yang sentiasa taat (akan perintah Allah), dan orang-orang yang membelanjakan hartanya (pada jalan Allah), dan orang-orang yang beristighfar (memohon ampun) pada waktu sahur." (Ali Imran: 15 - 17)

Allah mengangkat orang beribadah di waktu malam di tempat yang terpuji.
Firman Allah s.w.t. artinya:

"Dirikanlah olehmu sembahyang ketika gelincir matahari hingga waktu gelap malam, dan (dirikanlah) sembahyang subuh sesungguhnya sembahyang subuh itu adalah disaksikan (keistimewaannya).Dan bangunlah pada sebagian dari waktu malam serta kerjakanlah "sembahyang tahajjud" padanya, sebagai sembahyang tambahan bagimu semoga Tuhanmu membangkit dan menempatkanmu - pada hari akhirat - ditempat yang terpuji." (Al Isra: 78-79)

Mempunyai sifat kemuliaan hati dan menghormati orang
Allah s.w.t. berfirman ertinya:

"Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayangitu ialah orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati, dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mereka mengucapkan kata-kata yang baikDan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka (al-Furqan: 63-64)

Orang yang bangun dan beribadah di malam hari tidak menyombongkan diri.
Allah s.w.t. berfirman maksudnya:

"Sesungguhnya yang sebenar-benar beriman kepada ayat-ayat keterangan Kami hanyalah orang-orang yang apabila diberi peringatan dan pengajaran dengan ayat-ayat itu, mereka segera merebahkan diri sambil sujud (menandakan taat patuh), dan menggerakkan lidah dengan bertasbih serta memuji Tuhan mereka, dan mereka pula tidak bersikap sombong takbur.Mereka merenggangkan diri dari tempat tidur, (sedikit tidur, karena mengerjakan sembahyang tahajjud dan amal-amal salih) mereka sentiasa berdoa kepada Tuhan mereka dengan perasaan takut (akan kemurkaanNya) serta dengan perasaan ingin memperoleh lagi (keridhaan-Nya) dan mereka selalu pula mendermakan sebagian dari apa yang Kami berikan kepada mereka.Maka tidak ada seseorang pun yang mengetahui satu persatu persediaan yang telah dirahasiakan untuk mereka (dari segala jenis nikmat) yang amat indah dipandang dan mengembirakan, sebagai balasan bagi amal-amal salih yang mereka telah kerjakan." (As-Sajadah: 15-17)

Memperoleh keberuntungan dan mendapat rahmat dari
Firman Allah s.w.t. artinya:

"(Engkaukah yang lebih baik) atau orang yang taat mengerjakan ibadat pada waktu malam dengan sujud dan berdiri sambil takutkan (azab) hari akhirat serta mengharapkan rahmat Tuhannya?" Katakanlah lagi (kepadanya): "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang-orang yang dapat mengambil pelajaran dan peringatan hanyalah orang-orang yang berakal sempurna." (Az-Zumar: 9)

Suka berkorban dan membantu orang-orang miskin.
Firman Allah s.w.t. artinya:

"Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa adalah ditempatkan di dalam beberapa taman Syurga, dengan mata air-mata air terpancar padanya.(Keadaan mereka di

sana) senantiasa menerima nikmat dan rahmat yang diberikan kepadanya oleh Tuhan mereka. Sesungguhnya mereka di dunia dahulu adalah orang-orang yang berbuat kebaikan.Mereka senantiasa mengambil sedikit saja: masa dari waktu malam, untuk mereka tidur.Dan pada waktu akhir malam (sebelum fajar) pula, mereka selalu beristighfar kepada Allah (memohon ampun).Dan pada harta-harta mereka, (ada pula bagian yang mereka tentukan menjadi) hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang menahan diri (daripada meminta)." (As-Dzariyat: 15-19)

Mempunyai sifat kesabaran.
Firman Allah s.w.t. maksudnya:

"Maka bersabarlah kamu terhadap apa yang mereka katakana dan bertasbihlah sambil memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam (nya).Dan bertasbihlah kamu kepada_Nya di malam hari dan setiap selesai sembahyang (Qaaf: 39-40)

Tabah dalam menunggu ketetapan dari Allah.
Firman Allah s.w.t. artinya:

"Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, maka sesengguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami, bertasbihlah dengan memuji Tuhanmuketika kamu bangun berdiri,Dan bertasbihlah kepada-Nya pada beberapa saat di malam hari dan di waktu terbenam bintang-bintang (di waktu fajar) Ath-Thur: 48-49

Bangun di waktu malam untuk beribadah lebih berkesan dan khusyuk.
Firman Allah s.w.t. maksudnya:

"Wahai orang yang berselimut!Bangunlah untuk sembahyang di malam hari, kecuali sedikit (dari padanya),Yaitu separuh dari waktu malam, atau kurangkan sedikit dari separuh itu,Ataupun lebihkan (sedikit) daripadanya dan bacalah Al-Quran dengan "Tartiil".Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang beratSesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk Khusyu`) dan bacaan di waktu itu lebih terkesan (Al-Muzammil : 1-6)

Bersabar dalam menjalan perintah Allah.
Firman Allah s.w.t. artinya:

"Oleh sebab itu bersabarlah menerima hukum Tuhanmu (memberi tempo kepada golongan yang menentangmu), dan janganlah engkau menurut kehendak orang yang berdosa di antara mereka, atau orang yang kufur lagi ingkar.Dan sebutlah dengan lidah atau dengan hati akan nama Tuhanmu (di dalam dan di luar sembahyang), pada waktu pagi dan petang.Dan pada sebahagian malam sujudlah kepada Tuhan (dengan mengerjakan sembahyang), dan bertasbihlah, pada sebahagian yang panjang dari waktu malam." (Al-Insaan: 26)

2. Menurut hadits Rasulullah s.a.w.

Dalam beberapa hadits Rasulullah banyak menjelaskan betapa besarnya nilai dan pahala bagi orang-orang yang suka bangun di waktu malam kemudian melaksanakan ibadah kepada Allah. Karena malam adalah merupakan masa yang tenang dan damai, jauh dari gangguan pendengaran, penglihatan dan pengaruh-pengaruh yang lain. Sehingga seseorang dapat dengan khusyuk dalam menyampaikan permintaan atau hajatnya kepada Allah s.w.t.

Beberapa kelebihan bangun malam telah diungkapkan dalam hadits-hadits Rasul yaitu:

Allah akan mengabulkan segala permintaan hamba-Nya.
Sabda Rasulullah s.a.w. maksudnya:

Daripada Abu Hurairah r.a. Rasulullah s.a.w. bersabda: "Pada setiap malam di sepertiga terakhir pada bagian malam, Allah turun ke langit dunia, dan berseru: "Siapa yang memanggil-Ku, maka Aku pun akan menyambutnya. Siapa yang memohon kepada-Ku, Akupun mengabulkannya. Dan siapa yang memohon ampun, maka Aku pun mengampuninya." (HR Bukhari, Malik, Muslim dan Tarmizi)

Menambahkan dekatnya diri antara hamba dengan Allah.
Sabda Rasulullah s.a.w. artinya:

"Sesungguhnya sedekat-dekatnya seorang hamba pada Tuhannya adalah di waktu tengah malam. Oleh sebab itu, jika kamu dapat menjadikan dirimu termasuk orang-orang yang berzikir kepada-Nya, maka kerjakanlah." (HR Abu Daud dan Tarmizi)

Dalam riwayat Muslim disebutkan, bahawa Allah menangguhkan hingga berakhirnya sepertiga pertama dari malam. Dan Allah turun ke langit dunia kemudian berfirman: "Aku adalah Tuhan, siapakah yang memanggil-Ku."

Penangkal segala penyakit yang berasal dari tubuh.
Sabda Rasulullah s.a.w. artinya:

"Hendaklah kamu semua rajin bangun malam (bertahajjud). Sebab hal itu telah menjadi kebiasaan para solihin sebelummu. Dan yang menyebabkan kamu dekat dengan Allah. Di samping itu dosa-dosa kamu dihapuskan-Nya, sekaligus penangkal segala penyakit yang berasal dari tubuh." (HR Tarmizi)

Mendidik jiwa untuk bersyukur.
Sabda Rasulullah s.a.w. artinya:

"Daripada Mughirah bin Syukbah r.a. ia berkata: "Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pernah beribadah di malam hari hingga kedua kakinya bengkak." Lalu sahabat bertanya: "Mengapa engkau lakukan ini wahai Rasulullah, bukankah dosa-dosa yang telah lalu dan yang akan datang telah diampuni oleh Allah s.w.t.?" Baginda menjawab: "Tidak layakkah jika aku menjadi seorang hamba yang mensyukuri nikmat Allah.?" (HR Ima ahli kecuali Abu Daud)

Orang yang sukar bangun malam untuk tahajjud bersahabat dengan syaitan.
Sabda Rasulullah s.a.w. artinya:

"Dari Ibnu Mas'ud r.a. ia berkata: "Pernah diceritakan seorang sahabat kepada Rasulullah s.a.w., bahawa ada seseorang yang sepanjang malam tertidur nyenyak, tidak pernah bangun sedikitpun untuk salat. Rasulullah menjawab: "Telinga orang itu telah di kencingi oleh syaitan." (HR Bukhari, Muslim dan Nasa'ie)

Tahajjud mempunyai kebaikan yang tinggi.
Sabda Rasulullah s.a.w. artinya:

Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sebaik-baik salat setelah salat fardhu iaitu salat tahajjud." (HR Muslim)

Tidak pelupa dan suka bersedekah.
Salat tahajjud mempunyai kelebihan menjadikan seseorang tidak pelupa, suka beribadah dan suka bersedekah. Sabda Rasulullah s.a.w. ertinya:

"Daripada Abdullah bin Amr bin Ash r.a. bahawa Rasulullah s.a.w. pernah bersabda: "Barangsiapa salat malam dengan membaca sepuluh ayat al-Quran, maka tidaklah ia akan dicatat sebagai orang-orang yang lupa. Barangsiapa yang salat malam dengan membaca seratus ayat al-Quran, maka ia dicatat sebagai kaum Qanitin yaitu orang yang gemar beribadah. Barangsiapa yang salat malam dengan membaca seribu ayat al-Quran, maka dicatat sebagai kaum muqantirin yaitu orang kaya yang suka bersedekah." (HR Abu Daud)

Demikianlah Rasulullah s.a.w. telah menerangkan betapa penting dan tingginya pahala bagi orang-orang yang bangun di waktu malam, kemudian mengerjakan salat tahajjud dan berdoa kepada Allah s.w.t.. Pernah Rasulullah ditanya oleh para sahabat: "Amalan apakah yang paling afdal ya Rasulullah?" Baginda bersabda: "Seafdal-afdal amalan iaitu berdiri lama dalam salat malam." (HR Abu Daud)

Diriwayatkan oleh Aisyah r.a. : Rasulullah s.a.w. salat malam sebanyak sepuluh rakaat, di tambah satu rakaat solat witir dan dua rakaat salat sunat fajar, semuanya 13 rakaat (HR. Muslim)

Hukum Shalat Berjamaah bagi Laki-laki

Banyak dari kita yang meremehkan shalat berjamaah. Oleh karenanya, melalui tulisan ini akan coba kami jelaskan mengenai hukum-hukum tentang wajibnya shalat berjama’ah, karena sebenarnya masalah ini adalah masalah yang teramat penting.



Banyak dari kita yang meremehkan shalat berjamaah. Oleh karenanya, melalui tulisan ini akan coba kami jelaskan mengenai hukum-hukum tentang wajibnya shalat berjama’ah, karena sebe-narnya masalah ini adalah masalah yang teramat penting.

Allah SWT banyak menyebut kata sha-lat dalam Al Qur’anul Karim. Ini menandakan begitu penting perkara ini. Allah SWT berfirman :
Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.(Al Baqarah : 43)
Ayat mulia ini merupakan nash tentang kewajiban shalat berjamaah.

Dan dalam surat An- Nisa’ Allah berfirman yang artinya :
Dan apabila kamu berada ditengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemu-dian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serekat), maka hendaklah mereka dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan kedua yang belum shalat, lalu bershalatlah me-reka denganmu , dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata… (An Nisa’ 102)

Pada ayat diatas Allah mewajibkan shalat berjamaah bagi kaum muslimin dalam keadaan perang. Bagaimana bila dalam keadaan damai?!. Telah disebutkan diatas bahwa ..dan hendaklah datang segolongan kedua yang be-lum shalat, lalu bershalatlah bersamamu…. Ini adalah dalil bahwa shalat berjamaah adalah far-dhu ‘ain, bukan fardu kifayah, ataupun sunnah. Jika hukumnya fardhu kifayah, pastilah gugur kewajiban berjamaah bagi kelompok kedua karena penunaian kelompok pertama. Dan jika hukumnya adalah sunnah, pastilah alasan yang paling utama adalah karena takut.

Dan dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata:
Seorang laki-laki buta datang kepada Nabi dan berkata: Wahai Rasulullah, aku tidak mempunyai pe-nuntun yang akan menuntunku ke Masjid. Ma-ka dia minta keringanan untuk shalat dirumah, maka diberi keringanan. Lalu ia pergi, Beliau memanggilnya seraya berkata: Apakah kamu mendengar adzan ? Ya, jawabnya. Nabi berkata :Kalau begitu penuhilah (hadirilah)!

Didalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam tidak memberikan keringanan kepada Abdullah bin Ummi Maktum radhiyallahu ‘anhu untuk shalat dirumahnya (tidak berjamaah) kendati ada alasan, diantaranya:

- Keadaan beliau buta.
- Tidak adanya penuntun ke Masjid.
- Jauh rumahnya dari Masjid.
- Adanya pohon-pohon kurma dan lain-lain yang ada diantara rumah beliau dan Masjid.
- Adanya binatang buas di Madinah.
- Tua umurnya dan telah lemah tulang-tulang-nya.

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meri-wayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam telah bersabda:
Aku berniat meme-rintahkan kaum muslimin untuk mendirikan sha-lat. Maka aku perintahkan seorang untuk menjadi imam dan shalat bersama. Kemudian aku berang-kat dengan kaum muslimin yang membawa seikat kayu bakar menuju orang-orang yang tidak mau ikut shalat berjamaah, dan aku bakar rumah-rumah mereka. (Al Bukhari-Muslim)

Hadits diatas telah menjelaskan bahwa tekad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam untuk membakar rumah-rumah disebabkan mereka tidak keluar untuk shalat berjamaah di masjid. Dan masih banyak lagi hadits yang menerangkan peringatan keras Rasulullah terhadap orang-orang yang tidak hadir ke masjid untuk berjamaah bukan semata-mata karena mereka meninggalkan shalat, bahkan mereka shalat di rumah-rumah mereka.

Ibnu Hajar berkata: Hadits ini telah menerangkan bahwa shalat berjamaah adalah fardhu ‘ain, karena kalau shalat berjamaah itu hanya sunnah saja, Rasulullah tidak akan berbuat keras terhadap orang-orang yang meninggalkannya, dan kalau fardhu kifayah pastilah telah cukup dengan pekerjaan beliau dan yang bersama beliau.

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: Engkau telah melihat kami, tidak seseorang yang meninggalkan shalat berjamaah, kecuali ia seorang munafik yang diketahui nifaknya atau seseorang yang sakit, bahkan seorang yang sakitpun berjalan (dengan dipapah) antara dua orang untuk mendatangi shalat (shalat berjamaah di masjid). Beliau menegaskan : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam mengajarkan kita jalan-jalan hidayah, dan salah satu jalan hidayah itu adalah shalat di masjid (shalat yang dikerjakan di masjid). (Shahih Muslim)

Ibnu Mas’ud juga mengatakan : Barang siapa mau bertemu dengan Allah SWT di hari akhir nanti dalam keadaan muslim, maka hendaklah memelihara semua shalat yang diserukan-Nya. Allah SWT telah menetapkan jalan-jalan hidayah kepada para Nabi dan shalat ter-masuk salah satu jalan hidayah. Jika kalian sha-lat dirumah maka kalian telah meninggalkan sunnah Nabi kalian, dan kalian akan sesat. Setiap Lelaki yang bersuci dengan baik, kemudian menuju masjid, maka Allah SWT menulis setiap langkahnya satu kebaikan, mengangkatnya satu derajat, dan menghapus satu kejahatannya. Engkau telah melihat dikalangan kami, tidak pernah ada yang meninggalkan shalat (berjamaah), kecuali orang munafik yang sudah nyata nifaknya. Pernah ada seorang lelaki hadir dengan dituntun antara dua orang untuk didirikan shaf.

Ibnu Mas’ud, Abdullah bin Abbas dan Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhum berkata : Barangsiapa yang mendengar adzan kemudian dia tidak mendatanginya tanpa udzur, maka tidak ada shalat baginya.

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata : Tidak ada tetangga masjid kecuali shalat di masjid. Ketika ditanyakan kepada beliau : Siapa tetangga masjid ? Beliau menjawab : Siapa saja yang mendengar panggilan adzan. Kemudian kata beliau : Barangsiapa mendengar panggilan adzan dan dia tidak mendatanginya maka tidak ada shalat baginya, kecuali dia mempunyai udzur.

Meningggalkan shalat berjamaah merupakan salah satu penyebab untuk meninggalkan shalat sama sekali. Dan perlu diketahui bahwa meninggalkan shalat adalah kekufuran, dan keluar dari islam. Ini berdasar pada sabda Nabi : Batas antara seseorang dengan kekufuran dan syirik adalah meninggalkan shalat. (HR. Muslim). Janji yang membatasi antara kita dan orang-orang kafir adalah shalat. Barang siapa meninggalkannya, maka ia kafir.

Setiap muslim wajib memelihara shalat pada waktunya, mengerjakan shalat sesuai dengan yang disyariatkan Allah, dan mengerjakan secara berjamaah di rumah-rumah Allah. Setiap muslim wajib taat kepada Allah dan rasul-Nya, serta takut akan murka dan siksanya.

Tidak bisa dipungkiri shalat berjamaah mempunyai beberapa hikmah serta kemaslahatan. Hikmah yang tampak adalah :

- Akan timbul diantara sesama muslim akan sa-ling mengenal dan saling membantu dalam kebaikan, ketaqwaan, dan saling berwasiat de-ngan kebenaran dan kesabaran.

- Saling memberi dorongan kepada orang lain yang meninggalkannya, dan memberi penga-jaran kepada yang tidak tahu.

- Menumbuhkan rasa tidak-suka/membenci kemunafikan.

- Memperlihatkan syiar-syiar Allah ditengah-tengah hamba-Nya.

- Sarana dakwah lewat kata-kata dan perbuatan.

Hadits mengenai wajibnya shalat berja-maah dan kewajiban melaksanakannya di rumah Allah sangat banyak Oleh karena itu setiap muslim wajib memperhatikan, dan bersegera melaksanakannya. Juga wajib memberitahukan hal ini kepada anak-anaknya, keluarga, tetangga, dan seluruh teman-teman seaqidah agar mereka melaksanakan perintah Allah SWT dan rasul-Nya dan agar mereka takut terhadap larangan Allah dan rasul-Nya dan agar mereka menjauhkan diri dari sifat-sifat orang munafik yang tercela, dianta-ranya malas mengerjakan shalat

Nikah Masa Kuliah

Kalau seandainya kita merasa takut jatuh ke dalam maksiat. Maka solusinya adalah kita harus menikah, adapun kuliah atau tidak adanya bayang untuk mencari nafkah, bukan sebagai alasan, tapi itu hanyalah was-was syeitan. Begitu banyak orang menikah waktu kuliah, dan bahkan saya mengetahui salah seorang ikhwan yang masih kuliah , menikah dengan salah seorang akhwat yang sama-sama kuliah juga, alhamdulillah mereka tidak mendapatkan problem. Selagi kita bisa berusaha Allah pasti akan membukakan pintu rezki, apalagi usaha anda untuk menikah demi menjaga agama anda, merupakan bentuk ketakwaan anda kepada Allah, dan Allah berfirman :
Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. (QS. 65:2-3)



Allah berfirman dalam surat Annur :
Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang patut (kawin) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan.Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya.Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. 24:32)

Rasulallah bersabda : tiga golongan pasti Allah akan menolong mereka : orang yang menikah yang ingin menjaga kehormatan dirinya, budak yang ingin melunasi bayarannya, dan orang yang berjihad di jalan Allah. (HR. Tirmizi, An Nasai dan Ibnu Majah, hadits dihasankan oleh Syeikh Albani di kitab Shahih Al Jami' jilid satu hal : 585.

Maka oleh karena itu janganlah ragu-ragu untuk melanjutkan niat yang baik ini. Kalau tidak anda melakukan puasa sebagaimana yang diperintahkan oleh Rasulullah dalam hadits : Barangsiapa yang belum mampu, maka puasalah, karena puasa itu bagi dirinya sebagai perisai (mengurangi nafsu syahwat). (H.R. Muttafaqun 'alaihi).

Hukuman Mati

Ummat Online
Rubrik: Al-Qur'an & Sunnah
Oleh : Quraish Shihab

Masyarakat Jahiliah memperlakukan para pembunuh bukan saja dengan membunuhnya, tetapi menuntut keadilan melebihi keadilan itu sendiri. Sehingga, si pembunuh bukan saja dibunuh, melainkan suku-suku kuat boleh jadi membunuh orang lain sebagai hukuman atas pembunuhan seseorang. Atau, paling tidak, membunuh seorang lelaki merdeka sebagai imbalan atas pembunuhan yang dilakukan seorang wanita atau hamba sahaya. Dalam konteks ini, turun ayat-ayat Al-Qur'an yang berkaitan dengan hukuman mati, antara lain firman-Nya:


Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu (bila kamu mau) qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita ... (Q.S. al-Baqarah 2:178).

Perlakuan itulah yang dinamai Al-Qur'an qishash , yang arti harfiahnya adalah "mengikuti". Dari akar kata yang sama, lahir kata qishash (kisah) karena orang yang berkisah mengikuti peristiwa yang dikisahkannya tahap demi tahap sesuai kronologi kejadiannya. Dengan kata qishash, Al-Qur'an bermaksud mengingatkan bahwa apa yang dilakukan terhadap pelaku kejahatan pada hakikatnya hanya mengikuti cara dan akibat perlakuannya terhadap di korban.

Sebenarnya, konsep qishash dikenal oleh ajaran agama sebelum Islam, paling tidak, berdasarkan informasi Al-Qur'an, seperti telah ditetapkan Allah terhadap pengikut-pengikut Nabi Musa a.s.:

Telah kami tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwa jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka pun ada qishash-nya. Barang siapa yang melepaskan hak qishash-nya, maka melepaskan itu menjadi penebus dosa baginya (Q.S. al-Maidah 5:45).

Al-Qur'an menetapkan adanya qishash bagi pembunuh. Tetapi, saat menetapkannya --seperti terbaca di atas-- Dia tidak mewajibkannya, melainkan diserahkan kepada keluarga si terbunuh untuk menetapkan pilihan mereka terhadap si pembunuh, baik "menuntut dari penguasa untuk membunuhnya" maupun memaafkannya dengan imbalan materi dari keluarga pembunuh.

Ini berbeda dengan pelaku pembunuhan yang meresahkan masyarakat dengan melakukan perampokan. Dalam kasus semacam ini, Al-Qur'an tidak memberi pilihan, tetapi secara tegas menyatakan bahwa tiada maaf bagi mereka. Itulah sebabnya, ayat 33 surah al-Maidah menggunakan kata yaqattalu (yang berarti 'dibunuh secara pasti'), bukan yuqtalu (yang berarti 'dibunuh').

Ada pemikir yang menolak hukuman mati bagi terpidana. "Pembunuhan sebagai hukuman adalah suatu yang kejam, yang tidak berkenan bagi manusia beradab. Pembunuhan yang dilakukan terpidana menghilangkan satu nyawa, tetapi pelaksanaan qishash adalah menghilangkan satu nyawa yang lain." Pembunuhan si pembunuh menyuburkan balas dendam, padahal pembalasan dendam merupakan suatu yang buruk dan harus dikikis melalui pendidikan. Karena itu, kata kalangan yang mengemukakan dalih, hukuman terhadap pembunuh bisa dilakukan dalam bentuk penjara seumur hidup dan kerja paksa; pembunuh adalah seorang yang mengalami gangguan jiwa, karena itu ia harus dirawat di rumah sakit; dan masih banyak dalih yang lain.

Dalam pandangan pakar-pakar Al-Qur'an, dalih-dalih tersebut dijawab Al-Qur'an dengan firman-Nya:

Barang siapa membunuh seorang manusia bukan karena orang itu membunuh orang lain (bukan karena qishash), atau bukan karena membuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan ia membunuh manusia seluruhnya; dan barang siapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan ia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya (Q.S. al-Maidah 5: 32).

Penjelasan ayat ini lebih-kurang sebagai berikut. Peraturan apa pun yang baik --yang ditetapkan baik oleh manusia maupun Allah-- pada hakikatnya untuk kemaslahatan "masyarakat manusia". Dan kalau kita berkata "masyarakat", maka kita semua tahu bahwa ia adalah kumpulan dari saya, Anda, dan dia --kumpulan manusia.

Adalah sangat mustahil memisahkan seorang manusia selaku pribadi dari masyarakatnya. Ini hanya terjadi dalam teori. Dalam kenyataan sosiologis, bahkan dalam kenyataan psikologis, manusia tak dapat dipisahkan dari masyarakat, sekalipun ia hidup di dalam goa seorang diri. Bukankah manusia yang tinggal seorang diri di goa menciptakan makhluk lain bersamanya, yang kalau bukan makhluk sejenisnya maka hantu atau semacamnya? Katakanlah hantu yang menakutkannya, atau malaikat yang mendukungnya.

Demikianlah kebutuhan manusia. Pada saat manusia merasakan kehadiran manusia lain bersamanya, pada saat itu pula seorang diri atau ribuan anggota masyarakatnya mempunyai kedudukan yang sama. Semua harus dihargai, sehingga Barang siapa yang membunuh seorang manusia tanpa alasan yang sah, maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya Manusia sekaligus masyarakat, bahkan semua makhluk hidup memiliki naluri "mempertahankan hidup". Semut pun melawan jika kehidupannya terancam --kalau perlu dan mampu ia akan membunuh. Apalagi manusia. Karena itu, semua peraturan perundangan mentoleransi pembunuhan yang dilakukan siapa pun yang mempertahankan kehidupannya. Di sisi lain, semua masyarakat menyiapkan senjata-senjata pembunuh, paling tidak untuk mempertahankan kehidupannya.

Mengapa demikian? Jawabannya adalah, "Karena manusia ingin mempertahankan hidupnya, walau dengan membunuh." Kalau demikian, mengapa tidak dibenarkan membunuh orang yang membunuh orang lain tanpa hak?

Bukankah tak ada perbedaan antara seseorang dengan masyarakatnya? Dengan membunuh orang yang membunuh tanpa hak, maka akan terjamin kehidupan orang lain, bahkan kehidupan banyak orang. Itu sebagian kandungan pesan singkat Al-Qur'an (Q.S. al-Baqarah 2: 179): Di dalam qishash ada jaminan kelangsungan hidup bagimu.

Dengan membunuh si terpidana, maka setiap orang yang merencanakan pembunuhan akan berpikir seribu kali karena yang paling berharga bagi manusia adalah hidupnya dan yang paling ditakutinya adalah kematian. Sebab, kalau seseorang mengetahui bahwa dengan membunuh tanpa hak ia tidak akan dibunuh, maka tangannya akan semakin ringan untuk menganiaya dan membunuh.

Agaknya Al-Qur'an menyadari bahwa tak semua orang bisa memahami kandungan pesan di atas. Oleh sebab itu, penggalan ayat tersebut dirangkaikan dengan kalimat: Hai orang-orang yang berakal.

Memang benar, tak semua orang menyadari hal itu. Buktinya adalah dalih-dalih seperti yang telah dikemukakan di atas. "Pembunuhan sebagai hukuman adalah sesuatu yang kejam, yang tak berkenan bagi manusia beradab, yang seharusnya memiliki rahmat dan kasih sayang." Ayat tentang qishash akan dinilai kejam jika hanya dilihat secara berdiri sendiri dan melupakan korbannya yang terbunuh serta keluarga korban yang ditinggal.

Di sisi lain --dalam pandangan Al-Qur'an-- ditekankan agar pelaksanaan sangsi hukum bagi penzina jangan sampai mengabaikan hukum hanya karena rasa kasih-sayang kepada terpidana (baca Q.S. an-Nur 24: 2). Rahmat dan kasih sayang ada tempatnya, dan ketegasan juga ada tempatnya. Itulah keadilan yang didambakan manusia, yakni meletakkan segala sesuatu pada tempatnya yang wajar.

"Pembunuhan yang dilakukan terpidana menghilangkan satu nyawa, tetapi pelaksanaan qishash adalah menghilangkan satu nyawa yang lain." Begitu dalih yang lain, dan memang demikian yang tampak dipermukaan. Tetapi, yang tidak tampak --karena bergejolak di hati keluarga korban-- adalah dendam menuntut balas, yang dapat melampaui batas keadilan. Dan ketika itu bukan saja satu nyawa lain yang terancam, melainkan bisa puluhan nyawa.

"Pembunuhan si pembunuh menyuburkan balas dendam. Padahal, pembalasan dendam merupakan sesuatu yang buruk dan harus dikikis melalui pendidikan." Ini adalah dalih yang baik. Tetapi, berhasilkah kemanusiaan mengikis habis dari jiwa manusia perasaan dendam yang membara?

Betapapun, Al-Qur'an juga menempuh jalan pendidikan itu, sehingga, di samping ketetapan dan tuntunan-Nya yang menyatakan:

Barang siapa yang terbunuh secara aniaya, maka sesungguhnya Kami telah memberikan kekuasaan kepada ahli warisnya (Q.S. al-Isra' 17: 33).

Kekuasaan yang dimaksud adalah "memaafkan, menerima ganti, atau menuntut qishash (membunuh) si pembunuh". Dan kalau ia memilih yang terakhir, maka lanjutan pesan ayat di atas adalah: Janganlah ia (ahli waris) melampaui batas dalam membunuh, karena sesungguhnya ia (dengan ketetapan ini) telah mendapat pembelaan atau pertolongan. Dengan ketetapan-Nya memberi wewenang kepada ahli waris memilih alternatif di atas, sambil menganjurkan untuk memberi maaf kepada yang bersalah, karena pemaafan dalam qishash menghapuskan dosa si pemaaf serta melahirkan hubungan yang lebih baik dalam kehidupan bermasyarakat, maka sisi pendidikan telah ditempuh Al-Qur'an.

Akhirnya, dalih terakhir adalah "si pembunuh mengidap penyakit jiwa". Dalih ini sangat berbahaya bagi kehidupan masyarakat, karena ia akan mendorong pembunuhan dengan perisai "sakit jiwa". Namun, jika memang yang demikian itu terbukti melalui pemeriksaan yang bertanggung jawab, maka tentu saja hukuman terhadap si terpidana akan berbeda.

Demikianlah sedikit uraian Al-Qur'an dan penafsirannya yang dapat dikemukakan dalam ruang yang terbatas ini.

Jual Beli Saham dan Obligasi

Bukan perkara yang diragukan lagi bahwa jual beli saham dan obligasi banyak sekali terjadi dalam praktek muamalah manusia hari ini, bahkan merupakan amalan yang banyak dilakukan oleh perusahaan-perusahaan bisnis. Karena itu maka kita akan bawakan dalam bahasan kita mulai dari definisi keduanya, perbedaan saham dan obligasi serta hukum jual beli keduanya.

Saham yaitu bagian dari modal pokok perusahaan, baik perusahaan perdagangan, property, ataupun perusahaan-perusahaan industri, Saham tersebut bisa berasal dari pemilik perusahaan ataupun pihak lain yang mengadakan perjanjian kerjasama. Setiap saham adalah komponen modal yang mempunyai nilai sama (sesuai dengan nilainya, pent).

Obligasi adalah Surat perjanjian (pengakuan hutang) dari bank, perusahaan dan sejenisnya kepada pemegangnya dengan waktu pelunasan tertentu pula, pada umumnya sesuai dengan bunga yang ditetapkan dalam akad peminjaman antara perusahaan ,lembaga pemerintahan, atau perorangan. Terkadang sebuah perusahaan membutuhkan sejumlah harta (pinjaman) untuk perluasan usahanya, yang dapat dilunasi dalam waktu yang panjang, sedangkan tidak ada yang dapat memberikan pinjamaan, maka akhirnya perusahaan itu menawarkan obligasi sejumlah yang dibutuhkan kepada publik untuk membelinya, dengan memberikan bunga tertentu dalam satu tahun. Pemilik obligasi mengambil bunga tersebut sampai waktu tertentu (jatuh tempo), kemudian dikembalikan hartanya kepadanya, dan terus belaku kebiasaan muamalah dengan obligasi ini, dan dijadikan sebagai ajang jual beli antar individu, layaknya barang-barang dagangan, maka pembawa obligasi menjualnya kepada yang lain, kemudian dijualnya lagi kepada yang lain, begitu seterusnya.

Perbedaan Saham dan Obligasi
Saham menggambarkan sebagian dari modal pokok sebuah perusahaan. Pemilik saham dipandang sebagai pemilik sebagian asset dari perusahaan sesuai dengan kadar saham yang dia miliki. Adapun obligasi dipandang sebagai hutang perusahaan, maka perusahaan berhutang kepada pemilik obligasi tersebut.

Obligasi memiliki masa jatuh tempo untuk pelunsan hutang, adapun saham tidak memiliki kecuali ketika perusahaan tersebut dinyatakan dilikuidasi.

Keuntungan ataupun kerugian pemilik saham tergantung dari prestasi perusahaan tersebut, tidak ada batasan khusus bagi keuntungan perusahaan, terkadang untung dengan keuntungan yang besar, dan terkadang rugi dengan kerugian yang besar. Pemilik saham sama-sama mengambil bagian dalam untung atau ruginya perusahaan. Terkadang mereka mendapatkan keuntungan yang besar ketika perusahaan mendapatkan laba yang besar. Dan terkadang pula mereka rugi ketika perusahaan itu jatuh. Maing-masing mereka menanggung bagian untung atau rugi.

Adapun pemilik obligasi dia memiliki bunga tetap yang dijamin ketika peminjaman, yang dapat dilihat dari surat obligasinya, bunga tersebut tidak bertambah dan tidak berkurang. serta tudak menggambarkan adanya kerugian. Apabila mereka misalnya meminjamkan (membeli obligasi) seharga 3 Junaih (ukuran mata uang mesir) bagi setiap 100 junaih. Kemudian perusahaan itu untung 10 junaih bagi setiap 100 junaih, maka mereka tidak akan mendapatkan lebih dari bunga yang telah ditetapkan baginya. Sedangkan bagi pemilik saham mereka akan mendapatkan 10 junaih dari setiap 100 junaih. Dan begitupun sebaliknya jika perusahaan itu jatuh dan rugi maka para pemilik obligasi akan tetap mendapatkan bunga yang telah ditetapkan baginya, disaat para pemikik saham tidak mendapatkan sedikitpun kuntungan bahkan mereka menanggung beban kerugian.

Ketika perusahaan dilikuidasi, maka kedudukan tertinggi ada pada pemegang obligasi karena dia merepresentasikan hutang perusahaan. Pemegang saham tidak memiliki hak atas harta perusahaan kecuali setelah ditunaikan semua hutang perusahaan. Bagi pemegang obligasi berhak untuk menuntut pengumuman kerugian perusahaan ketika perusahaan tersebut tidak bisa menunaikan kewajibannya (pailit).

Hukum Jual Beli Saham ada dua macam:

Saham pada perusahaan yang haram atau dari penghasilannya haram seperti dari bank-bank yang bermuamalah dengan riba atau perusahaan-perusahaan judi atau tempat-tempat keji, maka jual beli saham ini adalah haram, karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala jika mengharamkan sesuatu, mengharamkan pula harganya, disamping itu dengan membeli sahamnya berarti dia telah melakukan kerjasama dalam perbuatan dosa, Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Dan janganlah kalian tolong menolong dalam dosa dan permusuhan” (QS: Al Maidah: 2)

Saham pada perusahaan yang mubah seperti perusahaan-perusahaan dagang yang mubah atau perusahaan industri yang mubah, maka yang seperti ini dibolehkan menanam saham padanya, bekerja sama dengannya serta jual beli sahamnya, jika memang perusahaan tersebut telah diketahui dan dikenal serta tidak ada penipuan dan ketidaktentuan yang berlebihan padanya, karena saham itu adalah sebagian dari modal yang akan kembali kepada pemodalnya dengan keuntungan dari hasil perniagaan atau perindustrian, maka saham seperti ini adalah halal tanpa ada keraguan padanya.

Hukum Jual Beli Obligasi

Telah jelas dari keterangan yang lalu bahwasanya obligasi hakekatnya adalah peminjaman dengan membuahkan penghasilan atau bunga, karena obligasi adalah hutang perusahaan kepada pemilik obligasi yang berhak sebagaimana perjanjian untuk mendapatkan hasil tertentu dari pinjaman itu secara tahunan baik perusahaan itu untung atau rugi, maka dengan demikian ia masuk dalam lingkup transaksi riba, oleh sebab itu terbitnya obligasi sejak awalnya adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan syari’at, maka jual belinya tidak boleh secara syari’at dan bagi pemilik obligasi ini tidak boleh menjualnya.

Tapi bagaimana kalau seandainya obligasi itu berbentuk hutang yang sesuai dengan syari’at (tidak berbunga-pent) apakah boleh menjualnya?

Ini masuk dalam pembahasan menjual hutang dan itu dibolehkan jika menjualya kepada orang yang berhutang dengan syarat harus menerima gantinya di majlis (jual-beli) itu, dengan dasar hadits Ibnu Umar: Dulu saya menjual Unta di Baqi’ dengan uang dinar (uang dari emas), kemudian kami mengambil gantinya berupa dirham (uang dari perak), kemudian aku bertanya kepada Rasululloh shallallahu’alaihi wa sallam maka beliau menjawab, yang artinya: “Tidak mengapa jika kalian berpisah dalam keadaan tidak ada sesuatu diantara keduanya” (HR: Abu Dawud, Nailul Authar 5/157)

Adapun jika dijual kepada selain yang berhutang, maka pendapat yang kuat juga dibolehkan jika dijual dengan selain uang seperti beras, gandum atau mobil. Adapun jika dijual dengan uang maka tidak sah karena hakekatnya adalah menjual uang secara kontan dengan uang yang kredit padahal syarat sahnya penjualan seperti itu adalah harus saling menerima (taqabuth) uang pada satu majlis jika jenis uangnya atau mata uangnya berbeda dan jika satu mata uang maka ditambah syarat yang lain yaitu harus sama nilainya, maka obligasi itu tidak boleh dijual dengan harga yang lebih rendah, jika dengan harga yang berbeda maka terjatuh dalam riba fadl dan nasi’ah.

(Sumber Rujukan: Ar Riba Wal Mu’amalat Al Mashrafiyah, Karya Syaikh Dr. Umar bin Abdul Aziz Al Mutrak, hal 369-375)



Tawakkal

Tawakal adalah kesungguhan hati dalam bersandar kepada Alloh Ta’ala untuk mendapatkan kemaslahatan serta mencegah bahaya, baik menyangkut urusan dunia maupun akhirat. Alloh Ta’ala berfirman yang artinya, ”Dan barangsiapa bertaqwa kepada Alloh, niscaya Dia akan jadikan baginya jalan keluar dan memberi rizqi dari arah yang tiada ia sangka-sangka, dan barangsiapa bertawakal kepada Alloh, maka Dia itu cukup baginya.” (Ath Tholaq: 2-3)Makna Bertawakal Kepada Alloh

Banyak di antara para ulama yang telah menjelaskan makna tawakal, diantaranya adalah Al Allamah Al Munawi. Beliau mengatakan, “Tawakal adalah menampakkan kelemahan serta penyandaran (diri) kepada yang ditawakali.” (Faidhul Qadir, 5/311). Ibnu ‘Abbas radhiyallohu’anhuma mengatakan bahwa tawakal bermakna percaya sepenuhnya kepada Alloh Ta’ala. Imam Ahmad mengatakan, ”Tawakal berarti memutuskan pencarian disertai keputus-asaan terhadap makhluk.” Al Hasan Al Bashri pernah ditanya tentang tawakal, maka beliau menjawab, ”Ridho kepada Alloh Ta’ala”, Ibnu Rojab Al Hanbali mengatakan, ”Tawakal adalah bersandarnya hati dengan sebenarnya kepada Alloh Ta’ala dalam memperoleh kemashlahatan dan menolak bahaya, baik urusan dunia maupun akhirat secara keseluruhan.” Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, ”Tawakal yaitu memalingkan pandangan dari berbagai sebab setelah sebab disiapkan.”

Mendapatkan Kebaikan dan Menghindari Kerusakan

Ibnul Qayyim berkata, ”Tawakal adalah faktor paling utama yang bisa mempertahankan seseorang ketika tidak memiliki kekuatan dari serangan makhluk lainnya yang menindas serta memusuhinya. Tawakal adalah sarana yang paling ampuh untuk menghadapi keadaan seperti itu, karena ia telah menjadikan Alloh sebagai pelindungnya atau yang memberinya kecukupan. Maka barang siapa yang menjadikan Alloh sebagai pelindungnya serta yang memberinya kecukupan, maka musuhnya itu tak akan bisa mendatangkan bahaya padanya.” (Bada’i Al-Fawa’id 2/268)

Bukti yang paling baik adalah kejadian nyata, Imam Al Bukhori telah mencatat dalam kitab shohih beliau, dari sahabat Ibnu Abbas rodhiyallohu anhuma, bahwa ketika Nabi Ibrahim dilemparkan ke tengah-tengah api yang membara beliau mengatakan, “Hasbunallohu wa ni’mal wakiil.” (Cukuplah Alloh menjadi penolong kami dan Alloh adalah sebaik-baik pelindung). Perkataan ini pulalah yang diungkapkan oleh Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam ketika dikatakan kepada beliau, Sesungguhnya orang-orang musyrik telah berencana untuk memerangimu, maka waspadalah engkau terhadap mereka.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam bab Tafsir. Lihat Fathul Bari VIII/77)

Ibnu Abbas berkata, “Kata-kata terakhir yang diucapkan oleh Nabi Ibrahim ketika ia dilemparkan ke tengah bara api adalah: ‘Cukuplah Alloh menjadi penolong kami dan Alloh sebaik-baik pelindung’.” (HR. Bukhori)

Bertawakal Kepada Alloh Adalah Kunci Rizki

Rosululloh Shallallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh, seandainya kalian bertawakal kepada Alloh dengan sebenar-benarnya, niscaya kalian akan diberi rizki sebagaimana burung-burung. Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar, dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Al-Hakim)

Dalam hadits yang mulia ini Rosululloh menjelaskan bahwa orang yang bertawakal kepada Alloh dengan sebenar-benarnya, pastilah dia akan diberi rizki. Bagaimana tidak, karena dia telah bertawakal kepada Dzat Yang Maha Hidup yang tidak pernah mati. Abu Hatim Ar Razy berkata, ”Hadist ini merupakan tonggak tawakal. Tawakal kepada Alloh itulah faktor terbesar dalam mencari riqzi.” Karena itu, barangsiapa bertawakal kepadaNya, niscaya Alloh Subhanahu Wa Ta’ala akan mencukupinya. Alloh berfirman yang artinya, “Dan barangsiapa bertawakal kepada Alloh, niscaya Alloh akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Alloh melaksanakan urusan (yang dikehendakiNya). Sesungguhnya Alloh telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (Ath-Thalaq: 3). Ar Rabi’ bin Khutsaim berkata mengenai ayat tersebut, “Yaitu mencukupinya dari segala sesuatu yang membuat sempit manusia.”

Tawakal Bukan Berarti Tidak Berusaha

Mewujudkan tawakal bukan berarti meniadakan usaha. Alloh memerintahkan hamba-hambaNya untuk berusaha sekaligus bertawakal. Berusaha dengan seluruh anggota badan dan bertawakal dengan hati merupakan perwujudan iman kepada Alloh Ta’ala.
Sebagian orang mungkin ada yang berkata, “Jika orang yang bertawakal kepada Alloh itu akan diberi rizki, maka kenapa kita harus lelah, berusaha dan mencari penghidupan. Bukankah kita cukup duduk-duduk dan bermalas-malasan, lalu rizki kita datang dari langit?” Perkataan itu sungguh menunjukkan kebodohan orang itu tentang hakikat tawakal. Nabi kita yang mulia telah menyerupakan orang yang bertawakal dan diberi rizki itu dengan burung yang pergi di pagi hari untuk mencari rizki dan pulang pada sore hari, padahal burung itu tidak memiliki sandaran apapun, baik perdagangan, pertanian, pabrik atau pekerjaan tertentu. Ia keluar berbekal tawakal kepada Alloh Yang Maha Esa sebagai tempat bergantung.

Para ulama -semoga Alloh membalas mereka dengan sebaik-baik kebaikan- telah memperingatkan masalah ini. Di antaranya adalah Imam Ahmad, beliau berkata: “Dalam hadits tersebut tidak ada isyarat yang membolehkan meninggalkan usaha, sebaliknya justru di dalamnya ada isyarat yang menunjukkan perlunya mencari rizki. Jadi maksud hadits tersebut, bahwa seandainya mereka bertawakal kepada Alloh dalam bepergian, kedatangan dan usaha mereka, dan mereka mengetahui bahwa kebaikan (rizki) itu di TanganNya, tentu mereka tidak akan pulang kecuali dalam keadaan mendapatkan harta dengan selamat, sebagaimana burung-burung tersebut”. (Tuhfatul Ahwadzi, 7/8)

Imam Ahmad pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang hanya duduk di rumah atau di masjid seraya berkata, “Aku tidak mau bekerja sedikitpun, sampai rizkiku datang sendiri”. Maka beliau berkomentar, “Ia adalah laki-laki yang tidak mengenal ilmu. Sungguh Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Sesungguhnya Alloh telah menjadikan rizkiku dalam bayang-bayang tombak perangku (baca: ghonimah)’. Dan beliau juga bersabda, ‘Sekiranya kalian bertawakal kepada Alloh dengan sebenar-benarnya, niscaya Alloh memberimu rizki sebagaimana yang diberikanNya kepada burung-burung. Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang.’ (Hasan Shohih. HR.Tirmidzi). Selanjutnya Imam Ahmad berkata, “Para sahabat juga berdagang dan bekerja dengan mengelola pohon kurmanya. Dan mereka itulah teladan kita.” (Fathul Bari, 11/305-306)

Kalau kita mau merenungi maka dapat kita katakan bahwa pengaruh tawakal itu tampak dalam gerak dan usaha seseorang ketika bekerja untuk mencapai tujuan-tujuannya. Imam Abul Qasim Al-Qusyairi mengatakan, “Ketahuilah sesungguhnya tawakal itu letaknya di dalam hati. Adapun gerak lahiriah maka hal itu tidak bertentangan dengan tawakal yang ada di dalam hati setelah seseorang meyakini bahwa rizki itu datangnya dari Alloh. Jika terdapat kesulitan, maka hal itu adalah karena takdir-Nya. Dan jika terdapat kemudahan maka hal itu karena kemudahan dariNya.” (Murqatul Mafatih, 5/157)

Diantara yang menunjukkan bahwa tawakal kepada Alloh tidaklah berarti meninggalkan usaha adalah sebuah hadits. Seseorang berkata kepada Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Aku lepaskan untaku dan (lalu) aku bertawakal ?” Nabi bersabda, “Ikatlah kemudian bertawakallah kepada Alloh.” (HR. Tirmidzi dan dihasankan Al Albani dalam Shohih Jami’ush Shoghir). Dalam riwayat Imam Al-Qudha’i disebutkan bahwa Amr bin Umayah Radhiyallohu ‘anhu berkata, “Aku bertanya, ‘Wahai Rosululloh!! Apakah aku ikat dahulu unta tungganganku lalu aku bertawakal kepada Alloh, ataukah aku lepaskan begitu saja lalu aku bertawakal?’, Beliau menjawab, ‘Ikatlah untamu lalu bertawakallah kepada Alloh.” (Musnad Asy-Syihab, Qayyidha wa Tawakal, no. 633, 1/368)

Tawakal tidaklah berarti meninggalkan usaha. Hendaknya setiap muslim bersungguh-sungguh dan berusaha untuk mendapatkan penghidupan. Hanya saja ia tidak boleh menyandarkan diri pada kelelahan, kerja keras dan usahanya, tetapi ia harus meyakini bahwa segala urusan adalah milik Alloh, dan bahwa rizki itu hanyalah dari Dia semata.

Shalal Jama' dan Shalat Qashar

Shalat Jama’ adalah melaksanakan dua shalat wajib dalam satu waktu, yakni melakukan shalat Dzuhur dan shalat Ashar di waktu Dzuhur dan itu dinamakan Jama’ Taqdim, atau melakukannya di waktu Ashar dan dinamakan Jama’ Takhir. Dan melaksanakan shalat Magrib dan shalat Isya’ bersamaan di waktu Magrib atau melaksanakannya di waktu Isya’. Jadi shalat yang boleh dijama’ adalah semua shalat Fardhu kecuali shalat Shubuh. Shalat shubuh harus dilakukan pada waktunya, tidak boleh dijama’ dengan shalat Isya’ atau shalat Dhuhur.
Sedangkan shalat Qashar maksudnya meringkas shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat. Seperti shalat Dhuhur, Ashar dan Isya’. Sedangkan shalat Magrib dan shalat Shubuh tidak bisa diqashar.

Shalat jama’ dan Qashar merupakan keringanan yang diberikan Alloh, sebagaimana firman-Nya, yang artinya: ”Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalatmu, (QS: Annisa: 101), Dan itu merupakan shadaqah (pemberian) dari Alloh yang disuruh oleh Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menerimanya.” (HR: Muslim).

Shalat Jama’ lebih umum dari shalat Qashar, karena mengqashar shalat hanya boleh dilakukan oleh orang yang sedang bepergian (musafir). Sedangkan menjama’ shalat bukan saja hanya untuk orang musafir, tetapi boleh juga dilakukan orang yang sedang sakit, atau karena hujan lebat atau banjir yang menyulitkan seorang muslim untuk bolak- balik ke masjid. dalam keadaan demikian kita dibolehkan menjama’ shalat. Ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, bahwasanya Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjama’ shalat Dhuhur dengan Ashar dan shalat Maghrib dengan Isya’ di Madinah. Imam Muslim menambahkan, “Bukan karena takut, hujan dan musafir”.

Imam Nawawi dalam kitabnya Syarah Muslim,V/215, dalam mengomentari hadits ini mengatakan, “Mayoritas ulama membolehkan menjama’ shalat bagi mereka yang tidak musafir bila ada kebutuhan yang sangat mendesak, dengan catatan tidak menjadikan yang demikian sebagai tradisi (kebiasaan). Pendapat demikian juga dikatakan oleh Ibnu Sirin, Asyhab, juga Ishaq Almarwazi dan Ibnu Munzir, berdasarkan perkataan Ibnu Abbas ketika mendengarkan hadist Nabi di atas, “Beliau tidak ingin memberatkan umatnya, sehingga beliau tidak menjelaskan alasan menjama’ shalatnya, apakah karena sakit atau musafir”.

Dari sini para sahabat memahami bahwa rasa takut dan hujan bisa menjadi udzur untuk seseorang boleh menjama’ shalatnya, seperti seorang yang sedang musafir. Dan menjama’ shalat karena sebab hujan adalah terkenal di zaman Nabi. Itulah sebabnya dalam hadist di atas hujan dijadikan sebab yang membolehkan untuk menjama’, (Al Albaniy,Irwa’, III/40).

Adapun batas jarak orang dikatakan musafir terdapat perbedaan di kalangan para ulama. Bahkan Ibnu Munzir mengatakan ada dua puluh pendapat. Yang paling kuat adalah tidak ada batasan jarak, selama mereka dinamakan musafir menurut kebiasaan maka ia boleh menjama’ dan mengqashar shalatnya. Karena kalau ada ketentuan jarak yang pasti, Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mesti menjelaskannya kepada kita, (AlMuhalla, 21/5).

Seorang musafir baru boleh memulai melaksanakan shalat jama’ dan Qashar apabila ia telah keluar dari kampung atau kota tempat tinggalnya. Ibnu Munzir mengatakan, “Saya tidak mengetahui Nabi menjama’ dan mengqashar shalatnya dalam musafir kecuali setelah keluar dari Madinah”. Dan Anas menambahkan, Saya shalat Dhuhur bersama Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah empat rakaat dan di Dzulhulaifah (sekarang Bir Ali berada di luar Madinah) dua rakaat,(HR: Bukhari Muslim).

Seorang yang menjama’ shalatnya karena musafir tidak mesti harus mengqashar shalatnya begitu juga sebaliknya. Karena boleh saja ia mengqashar shalatnya dengan tidak menjama’nya. Seperti melakukan shalat Dzuhur 2 rakaat diwaktunya dan shalat Ashar 2 rakaat di waktu Ashar. Dan seperti ini lebih afdhal bagi mereka yang musafir namun bukan dalam perjalanan. Seperti seorang yang berasal dari Surabaya bepergian ke Sulawesi, selama ia di sana ia boleh mengqashar shalatnya dengan tidak menjama’nya sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi ketika berada di Mina. Walaupun demikian boleh-boleh saja dia menjama’ dan mengqashar shalatnya ketika ia musafir seperti yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berada di Tabuk. Tetapi ketika dalam perjalanan lebih afdhal menjama’ dan mengqashar shalat, karena yang demikian lebih ringan dan seperti yang dilakukan oleh Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Menurut Jumhur (mayoritas) ulama’ seorang musafir yang sudah menentukan lama musafirnya lebih dari empat hari maka ia tidak boleh mengqashar shalatnya. Tetapi kalau waktunya empat hari atau kurang maka ia boleh mengqasharnya. Seperti yang dilakukan oleh Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika haji Wada’. Beliau tinggal selama 4 hari di Mekkah dengan menjama’ dan mengqashar shalatnya. Adapun seseorang yang belum menentukan berapa hari dia musafir, atau belum jelas kapan dia bisa kembali ke rumahnya maka dibolehkan menjama’ dan mengqashar shalatnya. Inilah yang dipegang oleh mayoritas ulama berdasarkan apa yang dilakukan oleh Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika penaklukkan kota Mekkah beliau tinggal sampai sembilan belas hari atau ketika perang tabuk sampai dua puluh hari beliau mengqashar shalatnya (HR: Abu Daud). Ini disebabkan karena ketidaktahuan kapan musafirnya berakhir. Sehingga seorang yang mengalami ketidakpastian jumlah hari dia musafir boleh saja menjama’ dan mengqashar shalatnya (Fiqhussunah I/241).

Bagi orang yang melaksanakan jama’ Taqdim diharuskan untuk melaksanakan langsung shalat kedua setelah selesai dari shalat pertama. Berbeda dengan jama’ ta’khir tidak mesti Muwalah (langsung berturut-turut). Karena waktu shalat kedua dilaksanakan pada waktunya. Seperti orang yang melaksanakan shalat Dhuhur diwaktu Ashar, setelah selesai melakukan shalat Dhuhur boleh saja dia istirahat dulu kemudian dilanjutkan dengan shalat Ashar. Walaupun demikian melakukannya dengan cara berturut –turut lebih afdhal karena itulah yang dilakukan oleh Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Seorang musafir boleh berjamaah dengan Imam yang muqim (tidak musafir). Begitu juga ia boleh menjadi imam bagi makmum yang muqim. Kalau dia menjadi makmum pada imam yang muqim, maka ia harus mengikuti imam dengan melakukan shalat Itmam (tidak mengqashar). Tetapi kalau dia menjadi Imam maka boleh saja mengqashar shalatnya, dan makmum menyempurnakan rakaat shalatnya setelah imammya salam.

Dan sunah bagi musafir untuk tidak melakukan shalat sunah rawatib (shalat sunah sesudah dan sebelum shalat wajib), Kecuali shalat witir dan Tahajjud, karena Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu melakukannya baik dalam keadaan musafir atau muqim. Dan begitu juga shalat- shalat sunah yang ada penyebabnya seperti shalat Tahiyatul Masjid, shalat gerhana, dan shalat janazah. Wallahu a’lam bis Shawaab.

(Sumber Rujukan: Fatawa As-Sholat, Asy-Syaikh Al Imam Abdul Aziz bin Baz dan Al-Wajiz fi Fiqh As-Sunnah wal kitab Al-Aziz, Abdul Adhim bin Badawi Al-Khalafi )